KPAI Prihatin Kasus 4 Anak Diduga Dibunuh Ayah di Jaksel, Beri 13 Catatan
Kdslots News - Wakil Ketua KPAI Jasra Putra menyatakan berduka atas kasus 4 anak tewas diduga dibunuh ayahnya di Jagakarsa, Jakarta Selatan (Jaksel). Kasus itu mengingatkannya atas kasus tewasnya Arie Hanggara (7) yang dibunuh ayah kandung dan ibu tirinya yang terjadi pada 1984.
"KPAI menyampaikan belasungkawa sedalam-dalamnya atas tragedi kelam di dunia perlindungan anak. Saya kira hari ini akan dikenang terus-menerus dunia perlindungan anak, setelah peristiwa keji Arie Hanggara, seorang anak yang dipukuli orang tua hingga meninggal," kata Jasra dalam keterangannya, Kamis (7/12/2023).
Jasra menyambangi rumah lokasi ditemukannya empat anak tewas tersebut di Gang Haji Roman Jalan Kebagusan Raya, Jagakarsa, Jaksel. Dia berharap pembunuh empat anak berinisial VA (6), SP (4), AR (3), dan AS (1) itu dihukum maksimal.
"Tentu hukuman maksimal menanti pelaku pembunuh 4 anak tersebut," kata dia.
KPAI bertemu Kepolisian, Wakil Camat, Sudin Perlindungan Anak, Ketua RT, pemilik kontrakan, hingga Satpol PP di lokasi. PD alias P (41) yang menjadi kepala keluarga sudah berbulan-bulan tak bayar kontrakan.
"Keterangan pemilik kontrakan yang masih saudara dengan RT, bahwa pelaku sudah 7 bulan tidak bayar kontrakan rumah yang berbiaya Rp 1,5 juta. Pemilik kontrakan sudah berusaha mengusir," katanya.
KPAI mempertanyakan mekanisme penanganan kasus KDRT ketika di dalamnya ada anak-anak yang berpotensi menjadi korban pelampiasan. Diketahui, sebelum terungkapnya kematian 4 anak tersebut, sudah lebih dulu terjadi kasus KDRT dari P terhadap istrinya, D.
"KPAI melihat problem ekonomi menjadi persoalan keluarga tersebut sejak awal yang memicu persoalan lainnya, sehingga terjadilah peristiwa tersebut. Karena sering kali dalam konflik orang tua, anak dijadikan jaminan, ancaman dan sasaran dari konflik yang tidak berkesudahan," ujar dia.
KPAI memberikan 13 poin catatan terkait kasus tersebut:
1. KPAI melihat ada problem dalam memastikan pengasuhan anak yang layak dalam orang tua berkonflik dan status rumah kontrakan.
2. Warga sudah mengetahui konflik mereka sejak lama dari tanggal peristiwa, artinya ada situasi keluarga yang harusnya dapat di laporkan dan mendapat intervensi, terutama dalam hal ini sebagaimana mandat Undang Undang Perlindungan Anak menjauhkan anak sementara dari keluarga berkonflik, hanya mungkin masyarakat belum terbiasa merujuk anak anak ke lembaga yang diberi wewenang menerimanya.
3. Warga mengetahui rumah tersebut sudah tidak beraktivitas sejak Minggu Malam, namun tidak ada mekanisme, atau seorangpun yang memeriksa, siapakah yang berwenang melakukan atau memastikan kondisi anak.
4. Sabtu (25/12) disampaikan warga ibu dari anak anak tersebut masuk Rumah Sakit akibat KDRT. Sejauh mana penanganannya? Apakah ada proses penahanan pelaku? Kalau tidak ditahan karena alasan apa?
5. Sebagaimana mandat Undang Undang Perlindungan Anak, bila menemukan anak dalam keluarga berkonflik, maka anak anak tersebut masuk kategori Perlindungan Khusus Anak. Maka sejauh apa pemahaman masyarakat dan petugas, dalam soal memastikan anak penting untuk dihindarkan sementara dari konflik orang tuanya. Apakah masyarakat dan petugas mengerti mekanisme merujuk anak anak yang kehilangan pengasuhan orang tua berkonflik
6. Darurat RUU pengasuhan anak. Karena untuk intervensi di dalam keluarga, butuh payung kebijakan komperhensif. Termasuk, ketika ada kekerasan, petugas dapat segera menindaklanjuti kondisi pengasuhan anak yang terancam
7. Yang paling berat lagi dalam kasus ini, sebenarnya, melalui ada dan tidaknya anggaran dalam kasus KDRT. Kalau ada anggaran, tentu akan membawa sensitifitas, kepekaan, responsif dan inisiatif di lapangan dalam segera menyelamatkan anak dalam keluarga KDRT. Karena jika terbiasa tidak dianggarkan, maka petugas akan kesulitan dalam melaksanakan berbagai tugasnya dalam satu kasus saja, misalnya.
8. Siapa yang paling merasa bertangung jawab, ketika dalam kasus KDRT meninggalkan anak-anak, apalagi anak ditinggalkan dengan pelaku, apakah ada anggaran pengasuhan anak di kepolisian? Atau dalam persoalan seperti KDRT yang menyertakan anak, ada payung kebijakan lintas profesi untuk menyikapinya.
9. Harus memiliki shelter yang ditetapkan, sebagai tempat anak korban KDRT. Yang punya SOP dalam pengembalian anak ke orang tua, kalau kasus penyebab KDRT-nya sudah ditemukan.
10. Bahwa ormas, rumah ibadah, masyarakat peduli anak, RT/RW, jadi penting berfungsi sebagai gugus tugas persoalan keluarga.
11. Sebenarnya di TKP peristiwa, banyak lembaga layanan yang dibentuk dan ada di tengah masyarakat untuk melindungi anak. Namun, yang menjadi pertanyaan, adakah sistem deteksi terpadu, yang mampu merespons bersama soal KDRT yang meninggalkan pengasuhan anak.
Sebenarnya di setiap kelurahan, RT/RW, ada struktur tugas dan fungsi mereka untuk layanan masyarakat. Dan semuanya dibayar profesional dan program-programnya dianggarkan.
Namun seringkali, dalam monitoring dan evaluasi KPAI, untuk anggaran soal anak masih belum maksimal, bahkan sangat tertinggal. Sehingga seringkali, tidak ada petugas yang merasa, ditugaskan, intervensi, seperti yang terjadi dengan profil keluarga yang tinggal di kontrakan ini.
Padahal kita tahu di suatu daerah, jumlah warga anak jumlahnya paling banyak. Artinya pelayanan anak paling menentukan kinerja petugas. Bila di suatu daerah anak-anak lebih dominan tidak tertangani baik. Maka dipastikan layanan untuk warga yang jumlahnya paling banyak anak, tidak terdeteksi dengan baik. Jadi setidaknya dari 100 persen anggaran di daerah, harusnya 60 persen untuk anak karena ukuran kinerjanya pelayanan warga, di mana anak paling banyak.
Tapi yang terjadi dengan anggaran stunting saja. Kenyataannya banyak penyalahgunaan anggaran (terakhir kasus depok, ditemukan kuah sop utuk mencegah stunting). Yang juga menjadi keresahan Presiden. Bansos stunting banyak dipakai di luar anggaran yang langsung ke penerima manfaat keluarga stunting. Bansos kesejahteraan menurut BPS lebih banyak dihabiskan untuk industri candu. Maka kalau ini tidak di rumnah, persoalan anak di daerah, terutama anak yang berada dalam keluarga rentan akan terus tertinggal.
Artinya karena anak tidak bisa membela dirinya sendiri. Ketika anggaran untuknya disalahgunakan. Anak tidak bisa apa-apa. Sehingga perlu perubahan cara pikir, cara pandang dan menyadari dalam anggaran pemenuhan hak anak dan anggaran perlindungan khusus anak.
Sekali lagi tanggung jawab pengasuhan adalah di orang tua. Tetapi ketika ditemukan ortu KDRT. Mandatnya ke negara untuk memastikan adanya pengasuhan. Tapi kesulitan kita hari ini. Payung kebijakan RUU Pengasuhan Anak kita tidak punya. Jadi persoalan anak di bunuh ortu akan terjadi terus dan tinggal menunggu pengulangan, ketika di dalam keluarga persoalan nya hanya ditangkap soal KDRT, tidak serta soal pengasuhan anak yang layak.
Jadi KPAI tidak bosan-bosannya, selalu mendorong dan mengingatkan. Soal RUU Pengasuhan Anak, yang sudah 20 tahun ini diperjuangkan namun belum berhasil menjadi perhatian, meski sudah masuk prolegnas di nomor urut 70.
Sehingga kalau dari atas dan bawah tidak memiliki kebijakan. Maka kita akan mengundang terus para oknum untuk penyalahgunaan anggaran anak
Lembaga layanan banyak di lapangan. Tetapi kalau sumber bergerak tidak ada, payung kebijakan pengasuhan anak di keluarga, operasionalnya tidak disiapkan. Maka masalah di lingkungan terdekat anak. Hanya soal charity, event dan kalau ada hari anak, dalam merespons soal perlindungan anak.
Dulu kita juga mendorong adanya Satgas Perlindungan Anak di tingkat RT RW, namun kelihatannya redup, meski banyak kementerian/lembaga membuat berbagai Task Force di tingkat lingkungan masyarakat, namun pada kenyataan di kasus ini, belum maksimal kerjanya. Bahwa melihat sebuah negara adalah melihat mereka memperlakukan generasinya.
12. Dalam penanganan kasus KDRT, kita bicara berapa lama di prosesnya. Sampai dapat menyentuh persoalan pengasuhan anak.
13. KPAI selalu mendorong agar Direktorat PPA dan PPO segera terbentuk di kepolisian, Agar kewenangan dan anggaran bertambah. Sehingga inisiatif, kepekaan, responsif, payung kebijakan dalam menindaklanjuti persoalan keluarga, terutama anak lebih menyeluruh dalam setiap kasus.
Ketua RT juga menyampaikan keluarga sampai sekarang belum menyerahkan KK. Untuk itu kami mengimbau agar tidak adanya KK, tidak serta merta menghilangkan hak anak untuk dilindungi. Karena anak-anak kecil ini tidak bisa mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri, artinya ada situasi yang harus jemput bola. Tapi sekali lagi kalau tidak dianggarkan secara baik dan ada kebijakan yang memayungi persoalan deteksi pengasuhan di keluarga, maka anak anak akan terus menjadi korban kekosongan kebijakan ini anggaran karena tidak ada, jadi tidak menghidupkan inisiatif.
Kepedulian sosial kita juga diuji, di tengah banyaknya bantuan tidak tepat sasaran, yang banyak merevisi DTKS, pengurangan PBI, yang menuntut perhatian kita semua, kepada angka kemiskinan ekstrim, kemiskinan baru, terutama dampak panjang ikutan COVID yang diterima keluarga keluarga di Indonesia. Sehingga kita tingkatkan lagi kepedulian kita semua, kepada keluarga seperti keluarga yang punya permasalahan ekonomi di kontrakan ini yang berakhir tragis dengan membunuh anak-anak mereka.
Post a Comment